Salah satu hal paling menantang dalam menulis review anime-anime dengan tema eksperimental bagus dari sisi produksi maupun isi cerita merupakan bagaimana supaya artikel hal yang demikian dapat dicerna oleh pembacanya. Seandainya wibu-wibu yang membaca tulisan ini setidaknya pernah membaca Saman atau Jangan Main-Main (dengan kelaminmu) dan tahu bahwa feminisme itu bukan sekedar bis khusus wanita, tentu memahami Kuzu no Honkai akan benar-benar gampang. Ini kisah sejumlah buah hati manusia yang mengeksplorasi seksualitas dirinya. Namun sebab kenyataannya tak seperti itu makanya artikel ini ada.
Kesan Pertama Kuzu no Honkai: Antara Tubuh, Gender, dan Kesenangan Diri
(Peringatan untuk feminis tulen: ini review tiga episode perdana sebuah anime buatan Jepang, bukan penpop bertema feminisme yang kebetulan mengambil anime Jepang sebagai umpamanya.)
Cerita berawal ketika gadis SMA Hanabi Yasuraoka (Chika Anzai) jatuh cinta dengan guru di sekolahnya Narumi Kanai (Kenji Nojima). Namun sebab hidup tak berjalan pantas dengan kemauan kita, Hanabi semestinya “merelakan” ketika Narumi memilih untuk bersama dengan rekan kerjanya Akane Minagawa (Aki Toyosaki). Bukan sebab kebetulan, Hanabi berjumpa dengan Mugi Awaya (Nobunaga Shimazaki) yang terbukti memendam perasaan kepada bu guru Akane.
Dalam keadaan butuh sama butuh, sebagaimana sang protagonis cerpen karangan Djenar Maesa Ayu, Hanabi dan Mugi malahan mempertimbangkan untuk mengisi kekosongan dalam diri mereka. Hanabi memperlakukan Mugi seolah-olah dia merupakan Narumi dan Mugi menganggap Hanabi merupakan Akane, dan mereka malahan nyaris berlanjut menjalin relasi kelamin. Tahu Hanabi tak siap, Mugi malahan membendung dirinya. Keadaan kian menarik ketika fakta baru terbongkar: bu guru Akane punya pandangan lain mengenai apa itu kesenangan duniawi.
Klik di : Kono Subarashii Sekai ni Shukufuku wo!
Manusia pada dasarnya mempunyai sifat humanis. Dalam filsafat, sifat humanis ini dikonsepkan oleh Descartes dan Francis Bacon, yang kemudian membawa manusia sadar akan pentingnya pemenuhan keperluan dirinya sendiri. Akan tapi, semua peradaban manusia mengetahui rumus-rumus tertentu mengenai relasi laki-laki dan perempuan serta lembaga (baca: perkawinan) yang mengontrolnya. Malahan pada abad ke-19 ketika kapitalisme sedang tumbuh dengan gencar, cinta tak seperti itu bebas dan masih tersekat dengan elemen benih, bebet, dan muatan. Oleh maka, mengamati pemenuhan kesenangan duniawi dalam Kuzu no Honkai tak dapat lepas dari bagaimana suatu relasi – yang murni transaksional – dijalankan dalam kerangka pandangan miring masyarakat terhadapnya.
Bu guru Akane pada episode 3 menyibak sang kotak pandora – yang dapat dibaca lebih lanjut pada komiknya – seputar konsep humanisme hal yang demikian. Akane, dan Hanabi dengan sahabat ceweknya Sanae Ebato (Haruka Tomatsu), yang menemukan suatu kenikmatan dari relasi transaksional itu adalah premis dari cerita ini. Penonton diajak mengeksplorasi bendera-bendera, spot persimpangan hidup, sembari berdaya upaya apa yang akan aku lakukan jikalau aku berada di posisi seorang Akane. Atau Hanabi. Atau mungkin Narumi, jikalau-jikalau akibatnya dia tahu sisi lain bu guru Akane yang seperti itu.
Di luar kisah yang kental dengan nuansa smut, apa yang dijalankan oleh bu guru Akane juga dapat dipandang sebagai wujud feminisme. Dia yang dalam anime ini diterangkan dengan seperti itu halus dan menawan bagaimana dia berdaulat atas hak-hak reproduksinya, kemudian menghadapi Hanabi yang terkungkung, terhantui dalam poin dan etika lingkungannya. Power play variasi apa yang bermain di sini? Nirmoral atau amoral? Kenapa anime ini sanggup membawa kesan yang seperti itu kuat tanpa perlu penggambaran ketelanjangan yang gamblang, taruhlah seperti Masou Gakuen?
Kuzu no Honkai menjadi salah satu anime menarik yang menghadirkan gagasan feminisme dalam kungkungan poin dan etika masyarakat Jepang. Lerche sanggup menyulap komik yang cukup straight, blak-blakan dalam menyebutkan pergumulan itu menjadi tersaji seperti itu menawan dan tersirat di sini. Tenaga cerita dan teknik penyutradaraan seperti ini tak senantiasa gampang dijumpai di anime-anime pada lazimnya.
Jika saja semua warga Jakarta dapat menjelajahi kebahagiaannya dengan bebas seperti bu guru Akane, tentu Ahok tak perlu tak jarang-tak jarang menghardik bawahannya, Anies Baswedan tak perlu baperan menjawab sapaan pak menteri, dan tentu saja kita tak dapat ngakak mengamati celetukan “jadi pertanyaannya apa bu” untuk bu Sylvi dalam dagelan politik ketika ini.
Dan, aku semestinya mulai membaca-baca lagi sastra beneran kecuali Konosuba dan Saekano. Tentunya bukan yang sekelas novel-novelnya Tere Liye.